Apa itu Self-Assessment? Bagi Anda Wajib Pajak, pasti pernah mendengar tentang istilah Self-Assessment, terutama saat akan melakukan pelaporan pajak melalui SPT tahunan. Sebenarnya, Self-Assessment sendiri merupakan salah satu sistem pemungutan pajak di Indonesia. Detail selengkapnya mengenai sistem Self-Assessment bisa disimak dalam uraian berikut ini, ya!

Sistem perpajakan di Indonesia terbagi dalam tiga sistem

Sistem pelaporan pajak di Indonesia terbagi dalam tiga jenis, yaitu Official Assessment, Withholding, dan Self-Assessment. Official Assessment adalah sistem pemungutan pajak yang membebankan wewenang penentuan besaran pajak terutang kepada petugas perpajakan.

Sedangkan dalam sistem Withholding, yang berwenang menentukan besaran pajak terutang adalah pihak ketiga di luar Wajib Pajak dan petugas perpajakan. Contoh penerapannya adalah pemotongan penghasilan pekerja yang dilakukan perusahaan. Jadi, pekerja tidak perlu lagi mengurus pemotongan pajak. Sedangkan untuk penjelasan mengenai sistem apa itu Self-Assessment, mari simak poin selanjutnya.

Apa itu sistem Self-Assessment?

Self-Assessment atau penilaian mandiri merupakan salah satu sistem pemungutan pajak yang diterapkan di Indonesia. Pada sistem ini, yang diberi kewenangan untuk menentukan besaran pajak adalah Wajib Pajak.

Artinya, Anda sebagai Wajib Pajak melakukan perhitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak secara mandiri. Meski begitu, Anda tidak perlu khawatir dengan masalah keamanan, ya. Sebab, seluruh sistem pemungutan pajak melalui Self-Assessment ini diawasi oleh pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Pajak yang bisa menggunakan sistem Self-Assessment

Lalu, apa saja pajak yang bisa menggunakan sistem Self-Assessment ini? Umumnya, sistem pemungutan Self-Assessment diterapkan pada pajak pusat. Pajak pusat adalah pajak yang penerapannya ditetapkan oleh pemerintah pusat dan diatur dalam Undang-Undang. Hasil pajak pusat akan digunakan untuk membiayai keperluan pembangunan nasional. Contoh pajak pusat adalah Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Ciri-ciri sistem Self-Assessment

Setelah mengetahui apa itu Self-Assessment, penting pula mengetahui ciri-ciri dari sistem perpajakan satu ini. Untuk memudahkan Anda mengenali jenis-jenis pajak yang menerapkan sistem Self-Assessment dalam pemungutannya, ketahuilah ciri-cirinya berikut ini:

  • Besaran pajak terutang ditentukan oleh Wajib Pajak.
  • Seluruh kewajiban pajak, mulai dari tahap perhitungan, pembayaran, hingga pelaporan dilakukan oleh Wajib Pajak melalui sistem yang telah ditetapkan pemerintah.
  • Tidak mengharuskan adanya penerbitan Surat Ketetapan Pajak. Namun, pada situasi tertentu, misalnya karena Wajib Pajak terlambat melakukan pembayaran, maka pemerintah bisa menerbitkan Surat Ketetapan Pajak.

Prinsip Self-Assessment menurut Undang-Undang

Prinsip penerapan sistem Self-Assessment sendiri telah diatur oleh pemerintah pusat, tepatnya melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) Pasal 12. Dalam peraturan tersebut, diketahui bahwa prinsip penerapan sistem Self-Assessment memiliki beberapa ketentuan. Anda bisa cek ketentuan tersebut di bawah ini, ya:

  1. Wajib Pajak harus membayar pajak yang terutang. Besarannya menyesuaikan UU KUP tanpa harus bergantung pada Surat Ketetapan Pajak (SKP). Sebab, pemungutan pajak dengan sistem Self-Assessment tidak memerlukan SKP, kecuali dalam kondisi tertentu.
  2. Dalam Self-Assessment, Wajib Pajak harus bersikap aktif dalam seluruh proses pemungutan pajak, mulai dari tahap perhitungan hingga pelaporan pajak.
  3. Hasil perhitungan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, berapa pun hasilnya, dianggap sebagai perhitungan sementara. Hal ini sesuai dengan UU KUP Pasal 12 Ayat 2 yang berbunyi, “Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai ketentuan perundang-undangan perpajakan.”
  4. Jika kemudian ditemukan bukti bahwa Jumlah Pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam UU KUP Pasal 12 Ayat 2 tidaklah benar, maka Direktoral Jenderal Pajak berhak menetapkan jumlah pajak yang terutang.
  5. Apabila terdapat kekeliruan perhitungan pajak oleh Wajib Pajak, maka Fiskus atau Pejabat Pajak yang berwenang harus melakukan pembenaran. Dengan syarat, kekeliruan tidak melampaui aturan Masa Pajak, yaitu dalam jangka waktu lima tahun setelah terutangnya pajak.
  6. Apabila Wajib Pajak tidak menerima pemberitahuan atas kesalahan, maka perhitungan yang dilakukan dianggap benar dan sah selamanya oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Itulah penjelasan untuk menjawab pertanyaan seputar apa itu Self-Assessment. Meski memudahkan, terkadang sistem ini juga bisa menimbulkan kebingungan, terutama bagi Wajib Pajak yang memang belum begitu familiar dengan proses perhitungan pajak. Jadi, jangan sampai merasa terbebani, ya.Namun, tidak perlu khawatir, Anda bisa memanfaatkan jasa Tax Compliance dari Trier Consulting. Melalui layanan tersebut, perhitungan pajak dengan sistem Self-Assessment dipastikan akurat dan sesuai ketentuan perundang-undangan. Yuk, mulai konsultasi masalah perpajakan Anda bersama Trier Consulting sekarang juga, cukup dengan klik di sini!