Anda bekerja di industri transportasi? Persiapkan diri Anda untuk menghadapi pajak karbon dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Seperti yang sudah diketahui, Indonesia berkontribusi dalam G20 dengan beberapa agenda yang harus dicapai pada 2030 nanti. Salah satunya adalah mengendalikan perubahan iklim. Lantas, apa maksud dari pajak karbon? Mari simak artikel berikut untuk selengkapnya!
Pajak Karbon, Apa Itu?
Dilansir dari CNBC Indonesia, Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan Indonesia mengatakan bahwa Indonesia sangat rawan akan perubahan iklim. Jika tidak dikendalikan, dampak buruk bisa melanda negara. Akan tetapi, Indonesia membutuhkan biaya yang cukup besar untuk menanggulangi fenomena global ini.
Kondisi ini tercermin dari anggaran APBN yang jauh lebih kecil dari pembiayaan yang dibutuhkan akan rencana pengendalian ini. Pada 2019 saja, pendanaan APBN hanya tersedia sekitar 31,4%. Sedangkan, biaya yang dibutuhkan untuk menjalankan upaya pengendalian masih kurang 68,6% dari biaya yang seharusnya dibutuhkan. Situasi ini pun mendorong munculnya pajak karbon.
Pajak karbon sendiri adalah pajak terhadap penggunaan bahan bakar fosil seperti gas, avtur, bensin, serta bahan lain dengan sumber sama. Jadi, semua yang menggunakan bahan tersebut akan dikenakan pajak tanpa terkecuali. Peraturan pajak ini diharapkan dapat membantu mencegah pemanasan global menjadi lebih parah.
Selain itu, implementasi ini bertujuan memberikan dorongan pasar karbon untuk fokus kepada pengembangan energi yang rendah karbon, ramah lingkungan, dan lebih efisien. Pendapatan yang didapatkan pun bisa disalurkan pemerintah untuk mengadakan program sosial dalam mendukung masyarakat dengan penghasilan rendah serta membantu pembangunan negara.
Landasan Hukum Pajak Karbon
Dilansir dari Pajakku.com, landasan hukum pajak karbon tersusun dalam hukum Perpres 98/2021 tentang Penyelenggara NEK, UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Pajak yang akan dijelaskan lebih dalam sebagai berikut:
– Perpres 98/2021 tentang Penyelenggara NEK
Dalam hukum Perpres ini, ada dua pokok utama yang perlu diperhatikan. Pertama adalah Pungutan Atas Karbon yang menunjukkan pungutan negara berdasarkan kandungan karbon dan/atau apa pun yang berpotensi sebagai emisi karbon dan/atau kinerja Aksi Mitigasi, dan/atau jumlah emisi karbon, baik di daerah maupun di pusat. Selanjutnya adalah pengaturan atas pelaksanaannya yang harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
– UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Pajak
Dalam undang-undang ini, ada empat pokok utama tentang pengaturan pajak karbon. Pertama adalah pengenaan atas emisi karbon yang berdampak buruk bagi lingkungan sekitar atau hidup. Berikutnya adalah arah pengenaan pajak karbon yang bertujuan untuk memperhatikan peta pasar karbon atau peta jalan pajak karbon. Peta ini akan memuat strategi sasaran sektor prioritas, keselarasan antar berbagai kebijakan yang ada, penurunan emisi karbon, serta keselarasan dengan pembangunan energi altenatif atau baru.
Ketiga adalah prinsip pajak karbon yang adil (just), terjangkau (affordable), dan memperhatikan masyarakat kecil dan iklim. Sedangkan yang terakhir adalah tarif. Tarif pajak karbon ini ditetapkan sama atau lebih tinggi dari harga pada pasar karbon yang menginjak angka paling rendah sekitar Rp30,00 per kilogram CO2e.
Manfaat dan Tujuan Pajak Karbon
Manfaat pajak karbon mungkin tidak begitu terlihat di industri transportasi. Namun, pengenaan pajak ini memberikan manfaat bagi negara, yaitu:
- Membantu menambah pendanaan pembangunan negara.
- Memberikan bantuan kepada negara dalam beradaptasi dan mempersiapkan rencana mitigasi terhadap perubahan iklim.
- Upaya nyata dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dari sumber emisi.
- Sebagai investasi jangka panjang dalam proses mencapai energi ramah lingkungan.
- Bisa disalurkan sebagai dukungan sosial kepada masyarakat yang berpenghasilan rendah
Dampaknya bagi Sektor Transportasi
Pemerintah sedang dalam diskusi intensif akan rencana perluasan pajak karbon. Jika rencana ini diterima oleh semua pihak, kewajiban pajak ini bisa mencakup pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di bawah 100 MW yang digunakan oleh kilang minyak dan gas, industri hilir, serta industri transportasi.
Namun, rencana perluasan ini membuat banyak pihak menjadi khawatir. Pajak yang akan dikenakan bisa berdampak ke kenaikan bahan pokok. Meskipun begitu, semua berharap ada jalan keluar karena implementasi ini baik dalam mempersiapkan Indonesia menghadapi dan mengendalikan perubahan iklim.
Kalau rencana perluasan ini berhasil, pajak karbon ini tentu harus Anda hadapi, terutama bagi Anda yang berkecimpung di industri transportasi. Karenanya, gunakan jasa Konsultan Pajak dari Trier Consulting. Semua konsultannya sudah berpengalaman dan bersertifikasi dalam bidangnya. Urusan pajak Anda pun akan aman dan sesuai regulasi yang berlaku. Klik di sini untuk tahu lebih lanjut!